Sisi Gelap Industri Game di Indonesia
Enak dong kerjanya main-main doang.
Kalimat di atas mungkin merupakan kalimat paling menyebalkan dan paling sering didengar orang yang bekerja di industri game. Ketidakpahaman masyarakat umum, terutama di Indonesia, tentang industri game bisa jadi merupakan pemicu utama kalimat tersebut sering kali terdengar.
Pada kenyataannya, industri game jauh lebih gelap daripada apa yang ada di bayangan orang awam. Kisah-kisah tentang pemecatan tak layak, jam kerja yang gila, dan bayaran yang mungkin tidak seberapa sudah menjadi cerita lama bagi para pegiatnya. Dari mulai di negara maju sampai Indonesia yang belum memiliki industri game besar pun kisah duka juga menjadi hal yang cukup sering terjadi.
Dalam artikel ini saya berniat untuk mengompilasikan beberapa kisah duka yang terjadi di industri game lokal. Seluruh cerita disajikan dari sudut pandang orang pertama, dengan semua detail narasumber dan tempat mereka bekerja disamarkan demi keamanan dan kenyamanan seluruh pihak.
Bukannya bermaksud menakuti, tapi melalui artikel ini diharapkan pandangan masyarakat tentang industri game bisa berubah menjadi lebih realistis. Dan jika ada pihak yang merasa familier dengan kisah-kisah yang ada di bawah, mungkin saja kisah-kisah berikut bisa menjadi interospeksi tersendiri.
Selamat membaca!
Gaji yang tak terbayar
Studio tempat saya bekerja bisa dibilang memiliki masalah yang cukup umum di studio game, yaitu menjadi besar terlalu cepat. Kebutuhan untuk bertahan memaksa studio kami untuk membuka proyek game sebagai servis, alias mengerjakan game tergantung pesanan klien.
Sayangnya tim kami yang memiliki idealisme terlalu tinggi menolak melakukannya, sedangkan manajemen yang lebih condong ke bisnis melihat ini sebagai satu-satunya cara bertahan hidup. Pada kenyataannya, memang idealisme saja tidak cukup untuk memastikan perusahaan tetap berjalan.
Dengan kondisi seperti ini, keputusan yang diambil manajemen justru dengan menambah karyawan. Jadi tim pun terbagi menjadi dua, yang khusus untuk mengerjakan game proyek luar untuk pemasukan, dan yang mengerjakan game sendiri. Istilah kasarnya satu pencari nafkah, satu menghabiskan uang untuk hasil yang baru kelihatan di masa depan dalam jangka panjang.
Masalahnya dengan formasi dan cara bekerja seperti ini, perputaran dana tidak mengalir dengan optimal. Pemasukan dari proyek servis tidak cukup untuk menggaji seluruh karyawan, dan yang harus terjadi adalah perusahaan jadi sering berutang pada karyawan. Ada yang gajinya hanya dibayar setengah, ada yang ditunda beberapa bulan, dan lain-lain.
Parahnya lagi, dengan kondisi seperti ini pun manajemen tetap memilih untuk terus menerima karyawan baru. Hal ini semakin dibuat runyam dengan fakta bahwa sebagai orang yang bertanggung jawab untuk Sumber Daya Manusia (SDM) dalam tim, saran-saran saya seakan tidak pernah digubris.
Dengan alur penerimaan karyawan yang terlihat seperti tidak dipertimbangkan sama sekali, saya merasa fungsi saya di dalam tim tidak maksimal. Selain itu, dengan tanggung jawab saya di bagian penerimaan karyawan, saya jelas terus kepikiran, “mau diberi makan apa orang-orang ini?” Melakukan pekerjaan sendiri rasanya seperti membuat orang masuk dalam perangkap.
Tentu saja tim yang masih mempertahankan idealismenya tidak membantu sama sekali. Rasanya ingin betul memberi tahu mereka dengan terang-terangan, “keadaan kita jadi seperti ini juga karena kalian tidak mau mengerjakan proyek servis!”
Pada akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan perusahaan meskipun ada beberapa bulan gaji yang belum terbayar. Bagaimana nasib kantor lama saya sekarang? Saya hanya berharap yang terbaik untuk mereka.
Cuti abadi
Kantor saya yang lama fokus di bidang pengembangan game, dengan dua investor utama dari dua negara yang berbeda. Masalahnya, saat itu salah satu investor enggan memberikan suntikan dana lanjutan dan tidak mau menjual perusahaannya ke pihak lain.
Karena masalah ini, perusahaan terpaksa memangkas biaya operasional dengan mengurangi karyawan dalam jumlah besar. Sayangnya perusahaan tidak menginformasikan alasan pemecatan dengan baik. Yang kami tahu hanya ada ganti haluan bisnis, tapi setelah berbicara dengan petinggi perusahaan lebih dari setahun setelah kejadian, baru ketahuan alasan sebenarnya.
Cukup sedih dan kaget juga karena ketika dipecat, saya sedang cuti seminggu di kampung halaman. Saya sendiri mendapatkan kabar di hari Selasa ketika sedang cuti. Saya baru masuk kembali hari Senin minggu depannya, hanya untuk menerima pesangon dan beres-beres barang.
Saya pribadi lupa berapa jumlah pasti karyawan yang dipecat saat itu, tapi kalau tidak salah untuk jumlahnya ada delapan belas orang. Untungnya perusahaan masih mau bertanggung jawab membayarkan gaji bulan tersebut secara prorata, ditambah dengan dua kali gaji penuh sebagai kompensasi atas pemecatan tersebut.
Demikianlah bagian pertama dari seri singkat ini. Ke depannya masih akan ada lagi cerita-cerita yang menunjukkan sisi gelap dari industri game yang mungkin belum banyak diketahui orang.
Tidak hanya membahas duka saja, tentunya kami juga akan berusaha menyampaikan kisah-kisah positif yang terjadi di industri game lokal seperti yang biasa dilakukan di seri artikel Devstory.
Jika kamu juga memiliki kisah yang patut dibagikan juga, jangan ragu-ragu untuk menghubungi saya di fahmi@techinasia.com.
(Diedit oleh Pradipta Nugrahanto)
The post Pengorbanan para Pencipta Hiburan, Sisi Gelap Industri Game di Indonesia (Bagian 1) appeared first on Tech in Asia Indonesia.