Lewat Gim DreadOut, Bawa Identitas Lokal ke Tingkat Global
Di tengah banyak himpitan yang dihadapi pengembang gim lokal, PT Digital Semantika Indonesia atau dikenal Digital Happiness meraih sukses lewat DreadOut. Tak terbatas gim, Digital Happiness juga mengembangkan bisnis dengan menjual Intelectual Properti (IP) DreadOut dalam bentuk film layar lebar yang tayang pada Januari lalu.
Dalam proses awal produksi, pendiri Digital Happiness Rochmad Imron sempat mengalami kesulitan pendanaan. Imron dkk memutuskan untuk mencari dana lewat crowfunding sekitar Juni 2013. Crowfunding dipilih sebagai cara melakukan tes pasar atas produk mereka. Demo Dreadout ternyata menarik minat banyak pemain gim asing terutama dari Amerika dan Eropa. Crowfunding lewat Indiegogo pun memperoleh US$ 29 ribu dari target awal US$ 25 ribu. Jumlah ini memang belum mencukupi kebutuhan modal produksi gim sekitar US$ 200 ribu. Sisa modal dipenuhi dari kocek perusahaan desain milik Imron dkk, Iris Desain.(Baca: Langkah Panjang Gim Lokal Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri )
Sejak peluncuran perdana pada Mei 2014 hingga saat ini, DreadOut telah telah diunduh sebanyak satu juta kali dengan jumlah unduhan berbayar 500 ribu kali. Dengan harga jual gim US$ 14,99 di market place Steam, maka hitungan kasar dari pendapatan kotor dari penjualan DreadOut ini sekitar US$ 7,4 juta.
DreadOut merupakan gim horor dengan nuansa Indonesia yang kental. Tokoh utamanya seorang anak perempuan SMA bernama Linda yang bertemu dengan berbagai karakter hantu lokal seperti kuntilanak dan pocong. Saat ini Imron dkk sedang menyiapkan DreadOut 2. Berbeda dengan seri pertama, DreaOut 2 akan menggalang dana dari investor dan lewat sponsorship. Imron mengatakan dalam proyek DreadOut 2 hendak menawarkan kerja sama dengan berbagai produk dengan merk lokal yang akan tampil di gim. "Sekarang lebih mengajak kerja sama menguatkan identitas lokal. Jadi kami mengambil langkah lebih ke depan, agar brand-brand lokal masuk atau tampak di Dreadout 2," kata Imron dalam wawancara khusus dengan Yuliawati, Ratri Kartika, Hindra Wijaya dan Yomas Suryo, beberapa waktu lalu.Berikut wawancara lengkap Imron dengan Katadata.co.id:Mengapa memilih membuat gim horror?
Sebenarnya mengapa kami membuat gim karena penasaran, belum ada gim lokal yang sesuai bayangan kami. Memang sudah ada gim lokal, tapi kami ingin sesuatu yang oke dengan identitas lokal yang kuat.Saya sejak kecil belajar banyak budaya dari gim. Tahu soal Samurai, Ninja, atau Viking, itu semua dari gim. Gim itu memiliki identitasnya masing-masing dari negara mereka berasal. Nah bermula dari itu, kami ingin memperkenalkan sesuatu, bagian kecil dari sebuah Indonesia, ya lewat horror karena unik.
Bagaimana proses sehingga DreadOut menjadi film?Sebenarnya sudah lama kami memikirkan bahwa DreadOut ini dapat dibuat film. Sebelum tawaran dari Kimo Stamboel, sudah banyak tawaran yang datang. Namun, tanpa bermaksud mengecilkan sutradara yang lain, kami memang nge-fans dengan film-film Kimo. Saya sempat tanya ke teman-teman siapa sutradara pilihan mereka, keluarlah nama Mo Brothers.
Sebelum itu ada beberapa production house yang mendekati kami. Tapi enggak cocok dengan visi mereka. Terus, Kimo itu datang dan kami melihat Kimo serius mengembangkan filmnya, meski saat itu dia sibuk dengan film Headshot. Kami juga sepaham dengan visinya membangun Intellectual Property (IP) gim ini. Jadi, akhirnya kami setuju dan kami serahkan lisensi IP kami kepada Kimo.
Apakah tim Digital Happiness juga mempertimbangkan rekam jejak Mo Brothers sebagai pembuat film horror?Kami melihat Mo karena dia cukup terkenal di dunia global, banyak film diputar di festival film. Jadi pendekatan kami sama, dia going global dulu.
Sempat khawatir pembuatan film mengalahkan pamor gim?
Tidak sih. Bahkan kami memang memberikan kebebasan. This is your own DreadOut, this is your own universe, silakan kau mengembangkan seperti bagaimana. Biarkan yang film besar, gim-nya juga tetap jalan.
Apakah film yang tayang telah sesuai dengan ekspektasi Digital Happiness?
Ekspektasi kami pasti sebesar mungkin. Tapi, Alhamdulillah sih, cukup lumayan. Film ditonton sekitar 831 ribu meskipun kalah dengan film lain seperti Keluarga Cemara. Tapi, so far kami senang mendapat appreciate dengan konsumen lokal.
Sekarang Digital Happiness sedang menyiapkan DreadOut 2, bagaimana sistem pendanaan yang digunakan?
Saat ini kami terbuka dengan investor. Dulu saat pertama kali memulai DreadOut, kami bergerilya menggunakan cara independen (crowfunding). Namun sekarang pengembang dan pembuat gim sudah semakin banyak. Saat ini kebutuhannya lebih ke marketing budget untuk gim.
Sudah ada investor yang tertarik mendanai Dreadout 2?
Ada beberapa investor potensial. Ada macam-macam, angel investor, ada juga dari publisher luar. Masih dalam tahap negosiasi.
DreadOut pertama kali mengumpulkan dana lewat crowdfunding, namun sekarang memilih jalur dari investor atau sponsor. Dari konsekuensinya, perbedaan signifikannya seperti apa?
Sebenernya kalo crowdfunding itu lebih ke pre-order dan publikasi. Sebenernya risiko secara perusahaan itu lebih kecil. Paling risikonya dihujat netizen kalau misalnya produknya gagal.
Sementara masuknya investor seperti as bussiness as usual. Sebenarnya kami mencari pendanaan bukan buat pengembangan proyek DreadOut 2. Sekarang lebih mengajak kerja sama menguatkan identitas lokal. Jadi kami mengambil langkah lebih ke depan, agar brand-brand lokal masuk atau tampak di Dreadout 2. Gim terbaru nanti akan ada tampilan miniatur sebuah kota dan tokohnya berkeliling di kawasan itu. Misalnya tas syang dikenakan tokoh utama, Linda, akan di support oleh satu merk lokal. Kami ingin bikin ekosistem yang menarik seperti itu. Jadi meet local for global.Respon para investor dengan model kerja sama seperti itu bagaimana ?
Macam-macam karena ini kan model yang pertama di Indonesia, tapi sudah lama diterapkan di luar negeri.
Selain tantangan dari segi pendanaan pembuat gim, tantangan lain apa yang dihadapi?
Tantangan yang dihadapi pengembang gim itu mendapatkan SDM. Memang industri gim di sini masih bayi, masih belajar merangkak. Berbeda dengan industri gim di AS, Kanada atau Eropa yang lainnya. Mereka memiliki satu pabrik gim yang besar sehingga lebih mudah terjadi transfer knowledge. Pengembang lebih mudah belajar dan mencontoh pipeline perusahaan.
Memang industri gim di Indonesia masih pemula sekali ya?
Game developer di Indonesia itu masih sedikit, ekosistemnya juga masih kecil. Jauh tertinggal dibandingkan AS dan Jepang yang sudah berkembang sejak 1985 dengan mengembangkan video game. Pengembang gim di sana sudah bisa hidup dari pekerjaannya. Sementara di sini baru dimulai sejak terbukanya game mobile lewat application store sekitar 2012. Peluang mulai terbuka sejak itu.
Asosiasi Gim di Indonesia aja itu baru berdiri tahun 2012. Pembuat pembuat gim di Indonesia sebelum itu sudah ada, namun tidak banyak, ada juga web base game. DreadOut sendiri merupakan gim yang judul intelectual property, mungkin waktu itu baru DreadOut yang mencoba jualan satu judul gim dan dikembangkan menjadi sebuah franchise dari komik berlanjut ke film. Bentuk bisnis yang seperti itu baru pertama.
Untuk industri gim memang masih bayi dari sudut pandang developer. Namun sebagai publisher itu memang sudah ada dari tahun 2010 dalam bentuk lisensi gim dari luar yang dilokalisasi dan dimonetisasi di Indonesia.
Anda melihat peranan pemerintah untuk dorong industri game bagaimana?
Sebenarnya industri gim baru di recognize Badan Ekonomi Kreatif sejak lembaga itu berdiri tahun 2017. Bekraf memasukkan aplikasi dan games itu baru ada di sub sektor bidang aplikasi dan game, meski seharusnya dipisah.
Digital Happines masih memproduksi gim dengan platform PC, apakah berminat untuk mengembangkan mobile karena konsumen di Indonesia sebagian besar menggunakan handphone?
Kami tidak menutup kemungkinan menggunakan platform mobile hanya saat ini kami memang lebih fokus mengembangkan ke PC dulu. Teman-teman di sini juga lebih nyaman untuk mengerjakan dan mengembangkan gim dalam bentuk PC. Selain itu pengembang gim mobile itu pertarungannya lebih dahsyat. Dalam satu hari saat ini sekitar 10.000 games versi mobile yang muncul. Jadi bagaimana kami bisa stand out di sana sementara kami modelnya bekerja fokus dalam mengembangkan gim.
Rencana akan mengembangkan gim ke pasar konsol?
Konsol sih sudah direncanakan hanya kan perusahaan berbadan hukum di Indonesia itu masih belum bisa menerima software development kit - yang digunakan untuk porting gim ke konsol entah PS4, Nintendo, XBOX dan lainnya itu.
Sehingga untuk masuk pasar konsol, kami harus menyiapkan sebuah perusahaan di Singapura atau Honggkong. Atau melalui publisher luar negeri jadi misalnya kami menjual lagi IP DreadOut. Saat ini sedang kamu upayakan bisa dalam bentuk kerja sama dengan publisher lain atau mau berjuang bagaimana caranyasoftware development kit itu masuk ke Indonesia. Target digital happiness dalam 5 tahun ke depan?Targetnya tetap fun aja mengembangkan gim dan berharap gim bisa lebih banyak memberikan impact baik baik bagi industri secara keseluruhan atau secara ekosistem.
Beli voucher games yang mudah dan murah di uzone store
Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini