Jejak Pertama Lesbianisme dalam Film Indonesia

Kolumnis: • Games
06 Jul 2019 WIB

Nana (Tuty Suprapto) adalah seorang pebisnis sukses. Dia dan kedua anaknya bergelimang harta dan tidak kekurangan suatu apapun. Yang tak mereka miliki: figur suami bagi Nana dan ayah bagi anak-anaknya.
Lantaran merasa kesepian, Nana pun menjadi lalai. Ketimbang memperhatikan kedua anaknya yang beranjak dewasa, Nana lebih suka menyibukkan diri dengan bisnisnya sembari melakukan petualangan asmara. Di lain waktu Nana juga terlibat hubungan lesbian dengan sekretaris perempuannya (Noertje Supandi). Singkat cerita, sang sekretaris bersekongkol dengan seorang pemuda untuk menggasak semua harta sang nyonya. Nana pun hidup melarat dan ditinggalkan anak-anaknya.Petualangan asmara Nana adalah tema utama film bertajuk Tiada Maaf Bagimu. Ulasan film itu dimuat dalam majalah Tempo edisi 10 Juli 1971. Melalui artikel tersebut, Tiada Maaf Bagimu dikritik habis-habisan karena penokohannya dianggap tidak jelas akibat terpengaruh gaya bertutur film India. Di samping itu, akting para pemainnya dalam membawakan adegan semi-seks lesbian dinilai cukup mengganggu. “Sebelum tangan Tuty memulai adegan lesbian, Noertje sudah bagaikan orang jang segera orgasme. Tuty tidak bermain terlalu djelek, meskipun ia pasti lebih sukses untuk adegan-adegan tempat tidur,” tulis Tempo.
Jalan Terjal Menuju Layar Perak
Tiada Maaf Bagimu merupakan film pertama yang diproduksi perusahaan Tuty Jaya Pictures milik aktris Tuty Suprapto. Perusahaan itu baru dibentuk sekitar Februari 1971, bertepatan dengan hari ulang tahun Tuty yang ke-35.
Tuty Suprapto memang punya sikap apresiasi tersendiri terhadap adegan erotis dalam film Indonesia sepanjang 1970-an. Jauh sebelum era boom seks dimulai, Tuty sudah memulai tren adegan telanjang bulat (hanya berbalut kain tipis) dalam film Dibalik Pintu Dosa (1970) buatan rumah produksi Agora Film. Terguran pemerintah terhadap Dibalik Pintu Dosa akibat adegan erotis yang berlebihan tampaknya tidak cukup untuk menggertak Tuty. Produksi film perdananya malah disulap menjadi film lesbian atas bantuan penulis Motinggo Boesje yang piawai mengolah cerita panas. Motinggo Boesje pulalah yang bertanggung jawab di balik kadar erotis Dibalik Pintu Dosa. Menurut laporan Tempo (10/7/1971), Dibalik Pintu Dosa dan Tiada Maaf Bagimu menjadi dua dari tiga film yang ditegur langsung oleh Badan Sensor Film (BSF) pada Juli 1971. Tak hanya ditegur, Ketua Badan Sensor R.M. Sutarto juga memanggil pihak yang berwewenang di balik layar. Sebagai direktur Tuty Jaya Pictures, mau tak mau Tuty harus hadir. Dia menghadap Sutarto sekitar awal Juli 1971. Kepada Sutarto, Tuty meyakinkan bahwa tokoh yang dibawakannya dalam Tiada Maaf Bagimu membawa pembelajaran tentang keretakan hubungan keluarga. “Meskipun anak itu hidup mewah, mereka pada tidak betah, berantakan, sementara ibunjapun tidak keruan,” kata Tuty, seperti dikutip Tempo.Sutarto tampaknya bukan orang yang lembek dalam perkara seks. Orang lama dalam kepengurusan Perusahaan Film Negara (PFN) sejak era Sukarno itu tidak berhasil diyakinkan Tuty. Bahkan dikabarkan, Tuty hampir menangis karena adegan ciuman lidah dalam filmnya dipotong habis oleh sensor.Yang Jatuh Dicekal Singapura
Film Jang Djatuh di Kaki Lelaki punya kisah lain lagi saat harus berhadapan dengan reaksi masyarakat film. Seniman-seniman berduyun-duyun memuji film lesbian kedua itu karena digarap dengan mempertimbangkan teori psikologi tentang perilaku sadisme dan lesbianisme. Pujian ini salah satunya dilayangkan Asrul Sani, penulis sekaligus sutradara film, sebagaimana diwartakan dalam Ekspres (15/9/1972).
Ketimbang film lesbian pendahulunya, film garapan sutradara muda Nico Pelamonia itu cenderung lebih miskin berita miring. Nico memang mengungkapkan bahwa filmnya tidak porno sehingga tidak ada yang perlu diperkarakan. “Saja tidak ingin membuat film porno. Djalan lain mengkomersilkan film ini masih ada jaitu membuat film itu dengan se-baik2-nja. Bahan-bahan itu keluar dari kreatifitas seorang sutradara,” tutur Nico seperti dikutip Purnama (25/7/1971). Kumpulan ulasan film yang dikumpulkan Kristanto sejalan dengan klaim Nico itu. Jika dibandingkan dengan film serupa di tahun yang sama, Jang Djatuh di Kaki Lelaki berhasil digarap dengan cukup halus. Kisahnya dihidupkan di sekitar konflik cinta segitiga perempuan-perempuan yang menjadi lesbian akibat ulah sadis dan pengalaman traumatis berhubungan intim dengan para lelaki. Tampaknya kepiawaian Sjuman Djaya mengadaptasi tulisan Abdullah Harahap menjadi naskah film berperan besar dalam keberhasilan cerita ini.