Uzone.id - Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti, melarang anak-anak bermain game Roblox. Ia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap game tersebut, dan mengingatkan orang tua akan potensi bahanya bagi anak-anak, terutama murid sekolah dasar (SD). Lantas, apa sebenarnya Roblox itu dan mengapa game ini dilarang?

Mu’Ti menjelaskan, Roblox bisa menampilkan adegan kekerasan yang tidak pantas. Apalagi, ia menilai tingkat intelektualitas anak-anak usia SD belum sepenuhnya mampu membedakan mana adegan nyata dan rekayasa. 

Dan di sisi lain, Mu’Ti juga mengatakan bahwa anak-anak di jenjang pendidikan dasar merupakan ‘peniru ulung’ yang tanpa ragu dapat menirukan berbagai tindakan yang mereka lihat saat memainkan game online atau menonton konten digital.

"Kalau main HP tidak boleh menonton kekerasan, yang di situ ada berantemnya, di situ ada kata-kata yang jelek-jelek, jangan nonton yang tidak berguna ya. Nah, yang main blok-blok (Roblox) tadi itu jangan main yang itu ya karena itu tidak baik ya," ujar Mu’Ti, dikutip dari Antara.

Apa itu Roblox?

Sederhananya, coba kalian bayangkan sebuah kotak LEGO digital raksasa tanpa batas. Roblox bukanlah satu game tunggal, melainkan sebuah platform online yang membebaskan para penggunanya membuat game mereka sendiri, sekaligus memainkan banyak sekali game yang dibuat oleh pengguna lain dari seluruh dunia.

Jadi, ketika seorang anak bilang "Aku mau main Roblox," itu bisa berarti banyak hal. Mereka bisa saja sedang asyik bermain game simulasi yang membuat mereka seolah menjadi koki di restoran atau merawat hewan peliharaan virtual.

Atau, bisa juga mereka sedang bertualang menjelajahi pulau misterius dan memecahkan teka-teki. Ada juga permainan kompetitif seperti balapan mobil dan adu lari melewati rintangan yang populer disebut 'obby', hingga sekadar berkumpul secara sosial dengan teman-teman di dunia virtual untuk mendekorasi rumah dan mengobrol.

Bak sebuah ‘alam semesta’ berisi game, maka konten di dalamnya bisa sangat beragam. Inilah yang membuatnya begitu digandrungi anak-anak dan remaja di seluruh dunia. Kreativitas tanpa batas menjadi daya tarik utamanya.

Lalu, di mana letak bahayanya?

Nah, di sinilah letak masalah yang disorot oleh Mu’Ti. Karena game-game di Roblox dibuat oleh siapa saja, maka kontrol kualitas dan kontennya menjadi tantangan besar. Beberapa game di platform ini masih mengandung unsur yang tidak pantas untuk anak-anak. 

Salah satu kekhawatiran utama adalah adanya konten kekerasan. Banyak game bergenre pertarungan atau tembak-tembakan yang, meski grafiknya kartunis, tetap menampilkan adegan memukul atau menembak. 

Bagi anak yang belum bisa membedakan fantasi dan realitas, ini bisa dianggap wajar. Selain kekerasan, ada pula game dengan tema horor yang bisa sangat menakutkan, atau tema-tema lain yang seharusnya hanya untuk orang dewasa.

“Misalnya mohon maaf ya, kalau di game itu dibanting, itu kan tidak apa-apa orang dibanting di game. Kalau dia main dengan temennya, kemudian temennya dibanting, kan jadi masalah,” jelas Mu’Ti.

Masalah lainnya datang dari aspek sosial. Sebagai platform interaktif, anak-anak bisa bertemu jutaan pemain lain dari seluruh dunia. 

Tanpa pengawasan, mereka bisa terpapar perundungan (bullying), kata-kata kasar, penipuan, hingga bujukan dari orang asing yang berniat jahat. Terakhir, ada juga risiko finansial melalui mata uang virtual bernama Robux, yang dibeli dengan uang sungguhan. Tanpa pengawasan, anak-anak bisa menghabiskan uang orang tua dalam jumlah besar tanpa izin.

Makanya, kata Mu’Ti, kunci utamanya ada pada pendampingan dan edukasi. Orang tua tidak bisa lagi sekadar memberi gawai lalu melepas anak begitu saja. Langkah-langkah konkret pun bisa diambil, seperti mengaktifkan fitur Parental Controls yang tersedia di Roblox untuk membatasi obrolan dan menyaring jenis permainan.

"Dampingi (anak saat bermain gawai), harus kita pandu supaya yang diakses adalah yang bermanfaat dan mereka dapat menggunakannya untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat edukatif dan bermanfaat," tegasnya.

Bisa juga, sesekali bermain bersama anak untuk melihat langsung apa yang dimainkan dan dengan siapa saja anaknya berinteraksi. Penting juga untuk membuat aturan yang jelas di rumah, seperti batas waktu bermain (screen time).

Saat ini, Mu’Ti menyatakan bahwa pihaknya bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah meluncurkan program Tunas, didukung Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas). 

Program ini bertujuan melindungi anak-anak di dunia digital melalui kerja sama dengan orang tua, masyarakat, dan penyedia layanan online.

"Tolonglah kami dibantu untuk diberikan anak-anak kita ini layanan yang mendidik, jangan layanan yang dapat merusak mental dan juga merusak intelektual mereka," pungkasnya.